Selasa, 11 Oktober 2011

Beda Budaya - susah juga ya?

Saya pindah ke Amerika untuk sekolah di universitas. Duh, bukan bermaksud gaya nih, orangtua saya berkeinginan supaya saya bisa berbahasa Inggris dengan mahir supaya punya nilai lebih di antara orang-orang Indonesia lainnya yang kemudian hari bekerja di Indonesia. Pertama kali saya mengalami gegar budaya, saya ingat sekali, saat itu saya masih tinggal di asrama sekolah. Ketika itu menjelang Natal dan setiap lantai asrama mengadakan acara Secret Santa. Artinya, kita masing-masing menulis nama di secarik kertas lalu kertas-kertas tersebut ditaruh di kantong kain besar dan masing-masing orang menarik satu kertas. Nama yang tercantum di kertas itulah yang harus kita belikan hadiah untuk hari Natal. Karena setiap orang menulis nama di kertas, setiap orang akan membelikan hadiah dan akan menerima hadiah juga. Serunya, kita tak tahu siapa yang akan memberikan kita hadiah, sementara kita tahu siapa yang akan menerima hadiah kita.

Karena di bulan November itu kita semua masih baru saling mengenal, ketua lantai asrama (biasa disebut RA - Resident Assistant) membagikan selembar kuis untuk diisi. Isinya, name (nama), where are you from (kamu berasal dari mana - gampang: Indonesia). Tapi satu yang bikin saya bingung adalah pasttime. Saya pikir, apa kenangan masa lalu yang paling saya kangenin kali ya? Dengan pedenya saya tulis "when I used to live in Indonesia." Baru seminggu kemudian saya sadar, ternyata artinya bukan masa lalu, tapi hobi. Pertanyaannya, apa hobi lo? Bukannya apa kenangan favorit lo di masa lampau. Hehe...  malu deh.

Lalu, masih pas sekolah juga nih, kalo di Indonesia kan sudah biasa murid berbicara saat guru menjelaskan (berbisik-bisik gitu maksudnya), ternyata peraturan di sini ketat sekali. Saya ingat, saat itu kelas geografi dan profesor sedang menjelaskan. Lalu saya berbisik-bisik dengan teman sebelah saya yang juga orang Indonesia. Si profesor melihat dan langsung menegur dengan keras, "Please don't talk when I'm teaching." Eh dasar saya masih geblek saat itu, mestinya saya bilang, "I'm sorry, it won't happen again," saya malahan nginyem diam saja seperti anak TK dimarahin, padahal saya sudah di universitas. Duh!

Perbedaan budaya lainnya, orang Amerika tidak sungkan menjelaskan apa isi hati atau pendapat mereka, tidak seperti orang Indonesia yang seringkali passive-aggressive. Saya tidak tahu bagaimana menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, tapi yang jelas orang yang pasif-agresif itu sering mengatakan hal yang tidak sesuai isi hati, atau malah tidak mengutarakan isi hati sama sekali padahal sedang gondok. Pihak lain tidak merasa ada yang salah sampai orang yang pasif-agresif itu sudah tak tahan lagi dan meledak. Blar! Pihak lain bingung dan merasa tersudut. Kok... begini? Padahal, itu gara-gara komunikasi nggak nyambung aja. Meskipun bicara satu bahasa, tapi kalau yang satu tidak terus terang atau jujur, kan pihak lain nggak bakal tahu isi hati orang itu.

Contoh komunikasi pasif-agresif itu seperti begini:
Orang A: Kamu kayanya gemukan ya? Kayaknya kamu harus diet deh!
Si pasif-agresif: Iya sih, berat badan saya naik gara-gara saya terlalu sibuk kerja akhir-akhir ini (dalam hati misah misuh, akrab aja nggak, berani-beraninya ngomentarin berat badan gue!)

Kalau orang Amerika, kalau nggak langsung mengalihkan pembicaraan karena males ngomongin soal berat badan, mereka bisa kasih jawaban kira-kira begini: kamu kayanya ngomongnya makin ga dikontrol ya? Kayaknya mulut kamu harus disekolahin deh!

Disclaimer: jawaban itu kira-kira ya, karena dalam dunia sebenarnya, tidak mungkin ada orang Amerika yang berani kritik soal berat badan, biarpun sahabat karib sekalipun!

Duh, kalau ada perbedaan budaya gara-gara orang Indonesia yang pasif-agresif ini, sudah banyak. Saya akui, saya dulu pasif-agresifnya kaga ketulungan. Sekarang saja sudah mendingan gara-gara banyak teman Amerika saya yang ngomel. Untungnya juga, kebanyakan dari mereka itu punya cara berkomunikasi yang baik, mereka selalu bisa bicara secara terus terang tanpa membuat lawan bicaranya jadi tersinggung, tidak seperti orang Indonesia yang mendingan kaga ngomong sama sekali daripada ribut, dan akhirnya semua hal yang bikin mumet akan disimpan di dalam hati sampai rasanya sebellll banget! Bener nggak?

Belanja Kerupuk Palembang

Saat saya tinggal di Memphis, Tennessee (itu loh, tempat tinggalnya raja rock and roll, Elvis Presley), tidak ada satu pun toko yang menjual bahan-bahan makanan Indonesia. Paling banter juga, ada restoran Vietnam dan Thailand, atau toko-toko yang menjual mie instan asal kedua negara tersebut (biarin saya nggak bisa baca bahasa Vietnam atau Thailand, saya tahu lah kalau tulisan kriwil itu tulisan Thailand, dan tulisan yang pendek-pendek itu tulisan Vietnam. Contoh: bahasa Vietnamnya mie instan itu Mie ngay lập tức.)

Bukan hanya makanan Indonesia saja yang absen di sono, ga ada juga tuh makanan Cina yang sudah kita take for granted di Indonesia, seperti dimsum atau lamien. Kalau mau makan dimsum, harus nyetir dulu enam jam ke Atlanta. Duh! Kalau ngidam kangkung cah ebi, tempat terdekat juga ada di Atlanta. Begitu "modernnya" Atlanta itu dibanding Memphis, sampai-sampai waktu saya dan teman-teman ke Atlanta, kita sampai berkali-kali makan di restoran Malaysia yang menyajikan masakan kangkung yang sedap itu. Mungkin pelayannya bingung ngeliat kita yang tiap hari datang, udah gitu mesannya hidangan yang itu-itu juga, makannya rakus-rakus lagi kaya ga pernah liat nasi!


Selama satu setengah tahun saya tinggal di Memphis, aduh rasanya sengsara banget deh. Kehabisan sambal, mau beli bumbu gado-gado, ato sebungkus Toblerone, kaga ada. Dulu belon ada jamannya beli bahan makanan Indonesia lewat Internet, jadi kalau saya ngidam ketoprak, misalnya, kepaksa gigit jari aja deh. Mana mungkin ya salad ala bule yang biarin disirem bumbu sesedap apapun bisa ngalahin empuknya tahu, segarnya taoge, legitnya saos kacang bercampur bawang putih dan garingnya kerupuk bawang. Aduh, maknyus! Pantesan saya dulu kurus pisan pas tinggal di sono. Sekarang saya ngerti bener kenapa mama saya kurusnya minta ampun ketika tinggal di Jerman dulu. Boro-boro makanan Thailand, nasi aja susah banget nyarinya.


Gara-gara menderita kekurangan makanan Indonesia itulah, ketika saya pergi mengunjungi teman di Los Angeles, saya "balas dendam". Di kota besar yang terletak di negara bagian California ini, banyak supermarket Asia, dari yang namanya HongKong supermarket, Asia supermarket, Hawaii supermarket, tapi favorit saya adalah yang namanya Ranch 99 Supermarket (sekarang sudah merambah ke Indonesia juga!) karena di situ ada satu aisle khusus makanan Indonesia. Haduh, sumpah saya tidak mau ke Disneyland, tidak mau ke Universal Studios, ke Hollywood demi ngeliatin Grauman's Chinese Theatre yang sering dipake premiere film-film baru, saya lebih senang bisa ngeborong segala perlengkapan makanan kering, bumbu-bumbu Indonesia balik ke Memphis!

Kecuali mungkin kalo ada yang ngajakin saya ketemu Edward Norton, saya rela deh ga makan kerupuk. Hehe!


Walhasil, gara-gara mengunjungi LA selama 3 hari saja, belanjaan saya saking banyaknya kudu ditampung satu koper lagi. Akhirnya saya terpaksa beli koper baru demi menampung kerupuk Palembang yang udah jelas guedenya minta ampun! Herannya, pas nyampe Memphis kok, rasanya makanan ini lebih enak di LA ya?


Nggak heran, sekarang setelah saya tinggal di LA, setiap kedatengan tamu orang Indonesia yang tinggal di "pedalaman" Amerika, maksud saya negara-negara bagian yang di dalam-dalam tuh, maunya ke supermarket, makan makanan Asia, minum boba. Mereka nggak mau diajak makan steak, biarpun ditraktir pula. Maunya makan lumpia, empek-empek dan otak-otak. Nggak heran, bisnis makanan Indonesia di sini laris manis. Lidah Indonesia emang nggak bisa diboongin. Saos kacang lebih enak daripada saus bistik!